Fumigasi sebagai perlakuan
karantina tumbuhan bertujuan untuk membebaskan media pembawa dari organisme
pengganggu tumbuhan. Sesuai dengan maksud dan tujuan penyelenggaraan kegiatan
karantina tumbuhan yaitu mencegah masuk dan tersebarnya organisme pengganggu
tumbuhan maka fumigasi sebagai perlakuan karantina harus dapat membunuh hama
keseluruhan. Pemilihan jenis fumigan dalam pelaksanaan fumigasi untuk keperluan
tindakan karantina tumbuhan tergantung kepada organisme pengganggu tumbuhan
sasaran, jumlah waktu yang tersedia, jenis komoditas yang akan difumigasi,
biaya dan tingkat kesulitan aplikasi, kemungkinan reaksi dengan material lain,
dan persyaratan negara tujuan.
Dalam pelaksanaan fumigasi
sebagai perlakuan karantina tumbuhan jenis fumigan yang umum digunakan adalah
Metil bromida. Namun demikian, untuk komoditas tertentu seperti benih tanaman,
tembakau, dan biji-bijian atau sereal, fumigasi dengan Metil bromida tidak
sesuai karena dapat mengakibatkan kerusakan atau penurunan kualitas komoditas
yang difumigasi. Sebagai alternatif pengganti Metil bromida, fumigan yang
sering digunakan dalam pelaksanaan fumigasi terhadap komoditas tersebut adalah
Fosfin.
Selain kesesuaian terhadap
jenis komoditas yang akan difumigasi, alternatif penggunakan Fosfin dalam
kegiatan fumigasi untuk keperluan karantina tumbuhan banyak dipersyaratkan oleh
negara tujuan ekspor. Hal ini karena setiap negara memiliki kewajiban untuk
mengurangi pemakaian Metil bromida secara bertahap sebagaimana diatur dalam
Protokol Montreal mengingat ion bromida juga diketahui sebagai zat yang dapat
menimbulkan kerusakan pada lapisan ozon.
Pelaksanaan fumigasi dengan
Fosfin berbeda dengan Metil bromida mengingat karateristik dan sifat senyawa
kedua fumigan tersebut berbeda. Sejauh ini, pelaksanaan fumigasi dengan Fosfin
belum diatur Badan Karantina Pertanian sebagaimana halnya fumigasi dengan Metil
bromida sehingga menyulitkan Petugas Karantina Tumbuhan atau pihak ketiga
sebagai pelaksana fumigasi dalam melakukan fumigasi dengan Fosfin sebagai
perlakuan karantina tumbuhan.
Karantina tumbuhan adalah
upaya pencegahan masuk dan tersebarnya Organisme Pengganggu Tumbuhan dari luar
negeri dan dari suatu area ke area lain di dalam negeri atau keluarnya dari
dalam wilayah Negara Republik Indonesia melalui serangkaian tindakan karantina
tumbuhan. Undang-undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan, dan
Tumbuhan, Pasal 10 menyebutkan bahwa tindakan karantina dilakukan oleh petugas
karantina berupa pemeriksaan, pengasingan, pengamatan, perlakuan, penahanan,
penolakan, pemusnahan, dan pembebasan.
Pelaksanaan tindakan karantina
tumbuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 di atas selanjutnya dijabarkan
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2002 tentang Karantina Tumbuhan.
Pasal 72 PP No. 14/2002menyebutkan bahwa pelaksanaan tindakan karantina
tumbuhan yaitu pemeriksaan fisik, pengasingan, pengamatan, perlakuan dan/atau
pemusnahan dapat dilakukan oleh pihak ketiga di bawah pengawasan petugas
karantina tumbuhan.
Persyaratan dan tatacara
pelaksanaan tindakan karantina tumbuhan oleh pihak ketiga diatur dalam
Peraturan Menteri Pertanian Nomor 271/Kpts/HK.310/4/2006. Sesuai dengan
Permentan tersebut maka Badan Karantina Pertanian dapat menunjuk pihak ketiga
sebagai pelaksana tindakan perlakuan setelah terlebih dahulu dilakukan penilaian
atas kelengkapan persyaratan yang dibutuhkan untuk dapat melaksanakan tindakan
perlakuan.
Pemilihan
Fosfin sebagai fumigan dalam pelaksanaan fumigasi sebagai salah satu alternatif
bagi komoditas yang tidak direkomendasikan di fumigasi dengan menggunakan Metil
bromida seperti benih, produk makanan, produk olahan, biji-bijian yang
mengandung lemak dan protein tinggi. Hal ini karena selain merupakan fumigan
yang sangat beracun, Fosfin relatif aman terhadap komoditas yang difumigasi.
Perlakuan dengan Fosfin secara berulang-ulang relatif tidak meninggalkan residu
pada komoditas. Sesuai dengan ketentuan Codex Alimentarius, batas residu
untuk inorganic Fosfin yang diperbolehkan pada biji-bijian belum diolah
0,1mg/kg, dan 0,01mg/kg pada biji-bijian yang telah diolah. Selain itu,
penggunaan Fosfin banyak dipersyaratkan oleh negara-negara tertentu karena ion
Fosfin juga diketahui sebagai zat yang tidak menimbulkan kerusakan pada lapisan
ozon.
Fumigasi
dengan menggunakan Fosfin harus memperhatikan sifat-sifat fisik dan kimianya,
serta dalam aplikasinya membutuhkan waktu yang lebih panjang dibandingkan
dengan Metil bromida. Untuk itu, yang perlu diperhatikan sebelum pelaksanaan
fumigasi dengan Fosfin adalah ketersedian waktu yang cukup untuk pelaksanaan
fumigasi, kandungan air komoditas yang akan difumigasi, jenis komoditas, dan
jenis organisme pengganggu tumbuhan yang menjadi sasaran fumigasi.
Fumigasi dengan Fosfin untuk tujuan tindakan
karantina dapat dilakukan terhadap :
1) Komoditas yang sebelumnya telah difumigasi
dengan Metil bromida.
2) Biji-bijian yang mengandung lemak.
3) Komoditas yang dapat tercemar bila difumigasi
dengan metil bromida (misalnya tepung terigu).
4) Benih, karena tidak berpengaruh terhadap daya
kecambah.
5) Tersedianya waktu yang panjang (tidak kurang dari 7 hari).
Penggunaan Fosfin dihindari apabila :
1) Timbul kecenderungan masalah resistensi pada
populasi serangga.
2) Suhu di bawah 10 derajat celcius karena pada
suhu tersebut serangga tidak aktif.
3) Komoditas yang mengandung emas, perak dan
tembaga.
4) Lokasi fumigasi sangat berdekatan dengan
tempat kerja dan pemukiman.
5) Komoditas dengan kandungan air yang tinggi.
6) Tidak tersedia tenaga yang terlatih.
7) Tidak tersedia perlengkapan keselamatan kerja
bagi fumigasi Fosfin yang memadai.
8) Tidak cukup waktu untuk melaksanakan fumigasi sampai selesai.
Fosfin
memiliki nama kimia Hidrogen Fosfida dengan formulasi kimia PH3. Pemilihan
Fosfin sebagai fumigan dalam pelaksanaan fumigasi pada produk makanan, olahan,
biji-bijian dan sereal yang sensitif terhadap Metil Bromida, karena :
a.
Merupakan senyawa yang sangat toksik dan memiliki penetrasi yang baik serta
seragam.
b.
Tidak memiliki efek aroma, warna, dan cita rasa terhadap komoditas yang
difumigasi.
c.
Penyerapan oleh produk rendah.
(Sumber
: Badan Karantina Nasional 2007)
No comments:
Post a Comment